Cari

esf

Belajar Menuang Gagasan.

Dialektika Dian dan Nana: RUU KUHP di mata dua perempuan (dan kita semua)

Minggu lalu, Indonesia sangat riuh oleh demonstrasi mahasiswa yang memrotes beberapa hal, antara lain adalah Rancangan Undang Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), UU KPK yang baru saja terbit, dan hasil pemilihan pimpinan KPK. Demonstrasi di Senayan dan beberapa kota berlangsung ricuh selama beberapa hari. Bahkan korban nyawa berjatuhan. Saya sendiri tidak tahu detil RUU KUHP dan apa yang diributkan. Di antara keriuhan besar itu, ada satu keriuhan kecil yaitu, katanya, Menkumham Yasonna Laoly menyebut Dian Sastro “bodoh” karena Dian Sastro dianggap mengritik tanpa membaca apa yang dikritiknya. Dan Dian Sastro pun menjawab kritikan itu. Dengan apa? Dengan serangkaian instastory (sila lihat IG Dian Sastro: @therealdisastr). Di sinilah masalah yang mencerminkan bagaimana kita orang Indonesia berinteraksi dan berdialektika.

Instastory Dian Sastro.

Saya mencoba merangkai peristiwa demi peristiwa di kejadian Yasonna vs Dian Sastro ini. Hal pertama yang saya lihat adalah Dian Sastro mengunggah kalimat yang sesungguhnya milik Tunggal Pawestri di kanal change.org untuk menggalang petisi penolakan RUU KUHP. OK. Pertama: Dian Sastro cuma copy-paste alias copas. Itu bukan hasil pemikiran Dian sendiri. Lalu mungkinkah seorang menteri menanggapi instastory Dian Sastro? Tampaknya tidak. Saya mengira-kira ada wartawan yang meneruskan apa yang Dian Sastro tulis tentang RUU itu ke Yasonna. Lalu Yasonna memberi penjelasan dan salah satu kalimatnya meminta agar Dian Sastro membaca lagi RUU KUHP dan jangan terlihat bodoh karena mengritik tanpa membaca apa yang dikritiknya. Kemudian si wartawan menulis hasil wawancaranya. Dian membaca berita itu lalu merespon di instastorynya.

Faedah apa yang kita bisa petik dari “sahut-sahutan lewat perantara wartawan” itu? Wartawan mengatakan ke Yasonna bahwa Dian begini begini. Yasonna lalu menjelaskan bahwa Dian sebaiknya begitu begitu. Lalu berdasarkan hasil tulisan wartawan, Dian membela diri dan mengatakan begono begono.

Jujur saja, saya menantikan ada orang yang mau menjelaskan isi RUU KUHP secara ringkas dan sederhana agar saya yang awam masalah hukum pidana ini bisa mengerti. Seorang figur publik bernama Dian Sastro pun sebetulnya sah-sah saja menyuarakan kegelisahannya. Tapi justru butir-butir kegelisahannya itu sekadar copas dari orang lain. Harapan sebetulnya muncul ketika Dian Sastro membela diri setelah disebut bodoh. Dia membuat rangkaian halaman di instastorynya.

Saya coba melihat apa yang Dian Sastro sampaikan di instastorynya. Dari 38 halaman di instastorynya, ada 2 tangkapan layar berisi pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan dan pasal 480 tentang Perkosaan, 2 tangkapan layar yang isinya sepertinya kritik substansi RKUHP entah siapa penulis aslinya, 1 tangkapan layar tentang 7 tuntutan mahasiswa, 1 halaman tentang ucapan terima kasih kepada demonstran, 2 halaman tentang anjuran tidak melakukan vandalisme saat demo, 3 halaman tentang kutipan dari whiteboard journal, 6 halaman tangkapan layar dukungan kepada Dian dan sebagian di antaranya balik memojokkan Yasonna, 3 halaman kutipan dari Banda Neira, 1 tangkapan layar tentang mahasiswa yang menolak demonstrasi untuk menurunkan Jokowi, 1 kutipan ucapan orang tua yang entah apa maksudnya (mungkin untuk menguatkan hati Cinta eh Dian Sastro), 1 halaman nasihat untuk anak SLTA agar jangan ikut demo, 1 halaman tentang penggalangan bantuan untuk demonstran, 3 halaman lagu Tom Mich berjudul Sunshine, dan sisanya berisi kata-kata Dian Sastro sendiri tentang cemooh Yasonna terhadap dirinya dan bahwa dia akan belajar dan membaca.

Apa yang saya dapat? Saya dapat pemahaman baru soal pasal perkosaan dan aborsi? Jujur saja saya tidak dapat hal baru. Dian Sastro tidak menyebut bahwa begini adalah buruk, begitu adalah baik, dan begono adalah netral.

Lalu dari mana saya dapat peroleh pencerahan kenapa RUU KUHP itu buruk? Harapan harusnya datang dari mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Tapi sayangnya belasan Ketua BEM dan puluhan ribu mahasiswa yang berdemo itu tidak ada satu pun yang menulis kegelisahannya. Saya hanya mendapatkan link berita berisi penjelasan mereka di berbagai berita dan talkshow yang celakanya persis dengan meme yang beredar: perempuan yang pulang kerja akan dipenjara, gelandangan dipenjara, ayam masuk halaman orang akan dipidana, dan sejenisnya. Ini menggelikan sekaligus menyedihkan. Kalau kisruh tentang KUHP dibahas dengan cara begini, lalu kita netizen awam mau dapat apa?

Tepat hari Sabtu (28/09) pun saya mendapat sedikit angin segar dari dunia medsos. Seorang perempuan bernama Nadya Valerie di instastorynya menjelaskan pandangannya tentang RUU KUHP. Nana, panggilan Nadya Valerie (akun IG Nadya Valerie: @nadyavalerie), menjelaskan secara ringkas hal-hal yang dianggap kontroversial dan dijadikan meme: aborsi korban perkosaan, kumpul kebo, perempuan di jam 10 malam, ayam dan denda, suami memperkosa istri, gelandangan dipenjara, presiden nggak boleh dikritik, dan hukuman untuk koruptor. Bahkan Nana memberi kita wawasan tentang sejarah KUHP, besaran hukuman, bagaimana melihat kasus, dan prinsip-prinsip keadilan.

Lalu apa faedah dari keisengan saya mengamati Dian dan Nana? Begini, saya melihat bagaimana Dian, Nana, dan kita semua berdialektika. Masalah sesungguhnya sederhana: Pemerintah dan DPR sedang membahas RUU KUHP. Lalu sebagian masyarakat menolak karena RUU itu dianggap ngaco. Di mana ngaconya? Berikut ini adalah grafis dari sumber asli tentang sepuluh pasar kontroversial yang dipos oleh pengguna instagram dan dipos ulang oleh Dian Sastro.

A close up of a newspaper

Description automatically generated
Salah satu grafis yang memuat narasi yang mirip dengan yang digunjingkan.

Bila Dian Sastro mempos gambar tersebut, artinya Dian yang S1 Filsafat dan S2 Ekonomi di Kampus Depok itu setuju terhadap isi pemikirannya. Masalahnya, benarkah isi pos tersebut? Benarkah kalau kita pelihara ayam dan masuk kebun orang akan didenda 10 juta? Benarkah hidup menggelandang didenda 1 juta? Benarkah suami perkosa istri dipenjara 12 tahun? Benarkah kumpul kebo dipenjara 6 bulan? Benarkah mengritik presiden dipenjara 6 bulan? Dian tampaknya setuju bahwa hal-hal tersebut di atas sangat aneh untuk diundangkan.

Dan bukankah sebagian kita juga beranggapan sama seperti Dian? Kita menganggap lucu Undang-undang mengatur ayam. Kita menganggap Presiden Jokowi anti kritik. Kita mempermasalahkan negara yang memenjarakan suami yang memaksa istrinya untuk ngeue tanpa berusaha menggali apa yang RUU itu sebenarnya maksud.

Selama satu minggu pun saya menanti penjelasan yang komprehensif dan jernih tentang RUU ini. Bahkan dari pihak mahasiswa pun, saya belum menemukan satu kali pun penjelasan yang cukup intelek tentang hal-hal yang mereka kritisi.

Hingga akhirnya di Sabtu (28/09) pagi saya menemukan pos Nana di instastorynya. Nana secara gamblang menjelaskan tentang isu-isu yang dipermasalahkan. Tentang aborsi pada korban perkosaan, Dian Sastro sekadar menampilkan tangkapan layar pasal 470 dan 480 yang diikuti dengan beberapa halaman berbunyi (1) Menurut kamu gimana, (2) Hukum ini akan mengikat kita sebagai warga negara, (3) Saya dan teman-teman membaca.. dan ya, kami akan membaca dan membaca lagi, (4) Karena lebih baik kita merasa bodoh, dan terus belajar.. daripada sudah merasa tau semuanya, (5) Lalu kalo memang ada lampiran penjelasan lebih lanjut terkait KUHP tersebut, mohon disosialisasikan ke masyarakat dengan lebih baik beserta rujukannya, dan (6) Sekian dan terimakasih.

Sementara itu, Nana menjelaskan bahwa kita jangan melihat satu masalah dari satu rujukan. Tentang aborsi pada korban perkosaan, Nana menyebut bahwa ada UU lain yang mengatur hal itu, yaitu UU Kesehatan, Pasal 75 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa larangan aborsi dikecualikan bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dengan penjelasan singkat dan lugas, Nana menggugurkan pendapat Dian Sastro dan jutaan orang yang sependapat dengannya.

Saya belajar banyak dari cara dialektika Nana dan Dian. Pertama, dari Nana, saya belajar untuk melihat suatu masalah dari banyak sudut pandang. Saya awam tentang hukum pidana. Bahwa hukum pidana tidak cukup untuk mengatur segala hal sehingga kita harus melihat UU lain. Soal aborsi tadi menjadi contohnya. Lex specialis derogat legi generali alias asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Kedua, dari posnya Dian Sastro, saya belajar bahwa membahas suatu hal tidak cukup bermodal screenshoot alias tangkapan layar. Apalagi Dian tidak menyuarakan apa-apa dari tangkapan layarnya. Dian Sastro hanya bilang “menurut kamu gimana?” sehingga seolah-olah kita sudah berada di level pemahaman yang sama dengan dia. Maksudnya Dian Sastro “menurut saya gimana itu” gimana? Jujur saya bingung. Kalau misal Dian menulis secara lugas seperti Nana menulis, walau cuma di instastory, maka saya akan tercerahkan. Menulis secara lugas, jelas apa yang dikritisi adalah penting.

Tapi itulah Indonesia. Ketimbang menuangkan buah pikirannya dalam suatu tulisan yang utuh, sebagian besar dari kita cenderung mengandalkan medsos 140 karakter, instastory, dan jawaban singkat ke wartawan. Contohnya ya respon Yasonna terhadap ucapan Dian. Apakah Yasonna membaca kritikan Dian? Jangan-jangan tidak karena Dian menuliskannya pun tidak. Dian sekadar pos copasan tulisan orang di instastory. Lalu wartawan bertanya ke Yasonna tentang perkataan Dian. Lalu Yasonna sekadar merespon, lalu menjadi berita, lalu Dian merespon dengan sederet instastory lagi.

Si A membenci si B karena wartawan bilang ke A bahwa si B begini. Lalu Si A mengatakan si B wakwaw kepada wartawan. Wartawan menuliskannya di berita, lalu si B mengatakan si A wokwow. Dialektika seperti apa yang kita harapkan dari kejadian macam ini?

Ketiga, saya belajar untuk mencari sumber kredibel tentang suatu masalah. Kredibel berarti sumber itu dapat mempertanggung jawabkan isi tulisan atau ucapannya. Tentang RUU KUHP ini, saya berharap ada orang yang bisa mengritisi hal-hal yang dianggap kontroversi. Tangkapan layar yang Dian Sastro unggah di instastorynya yang berbunyi “Ayam peliharaan masuk dan makan di kebun orang denda Rp 10 juta” menunjukkan bahwa bahkan pers pun bisa terlalu naif memaknai kalimat hukum. “Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II” di RUU KUHP diterjemahkan dengan “ayam peliharaan masuk dan makan di kebun orang denda Rp 1 juta” oleh lembaga pers itu adalah kekonyolan luar biasa. Apakah tidak ada satu pun Sarjana Hukum di kantor pers itu? Hebatnya, kita pun mengolok-olok ayat ini dengan cara yang sama lembaga pers itu menerjemahkan ayat itu dengan konyol.

Hal ini juga berlaku untuk butir-butir lainnya. Lembaga itu mengatakan bahwa mengritik Presiden akan dipenjara selama 6 bulan. Sementara itu, RUU itu tidak mengatakan bahwa kritik dilarang, tetapi “menyerang kehormatan.” Bahkan bagian penjelasannya menerangkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Apakah tidak ada satu orang pun di lembaga pers yang menerbitkan grafis tadi yang membaca RUU KUHP secara rinci? Kalau membaca, seharusnya mereka bisa membedakan “kritik” dan “menyerang kehormataatau harkat dan martabat.”

Jawaban Nana di instastorynya mungkin jauh dari sempurna. Tapi setidaknya ada seorang perempuan bernama Nadya Valerie yang menjelaskan jauh lebih jelas daripada pos Dian Sastro yang entah apa maunya. Dari sekian banyak BEM Universitas, ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi, belasan wawancara Ketua BEM, cuitan dan instastory puluhan orang, dan cuitan orang-orang yang membela Dian Sastro, saya baru menemukan setitik pencerahan dari Nadya Valerie.

Saya bukan dalam posisi pro atau kontra RUU KUHP. Poin saya adalah proses berdiskusi dalam membahas suatu hal, apalagi sekrusial UU KUHP, adalah penting. Jangan terjebak dengan apa kata orang tentang kita, cari dari sumbernya. Jangan kayak Yasonna vs Dian. Jangan juga menjadi kayak wartawan yang menanyakan apa kata si A kepada si B. Jangan sekadar copas, tetapi cobalah mengupas dengan berdiskusi bersama yang lebih paham.

Tuna (Thunnus spp.) Catch

WCPFC tuna longline - Edwison Firmana

 

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Setiap 2 Mei, kita memeringati Hari Pendidikan Nasional. Sejatinya, 2 Mei adalah hari lahir Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan di Indonesia. Taman Siswa adalah buah karyanya.

Melihat pendidikan di Indonesia, hati saya sedih. Menurut saya, pendidikan kita masih jauh dari ideal. Bukan hanya di tataran pelaksanaan, bahkan parahnya di tataran konsep.

Contohnya adalah pernyataan M. Nuh, mantan Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden SBY. Menanggapi maraknya tawuran antar pelajar, dia menyatakan akan menambah jam pelajaran agama (Merdeka.com, 2013). Menurut saya, itu pernyataan yang sepenuhnya keliru bila melihat kondisi pendidikan saat itu. Pelajaran agama dan moral sudah cukup diberikan masing-masing 2 jam pelajaran dalam seminggu. Bila diberikan lebih, hanya menghasilkan Pelajar yang jago teori agama dan moralitas. Padahal akar masalah terjadinya tawuran bukan karena Pelajar kurang mendapat materi tentang kebaikan dari teks pelajaran agamanya.

Pelajar melakukan tawuran karena beberapa hal. Pertama, mereka masih mencari jati diri dan pengakuan. Salah satunya adalah kebutuhan untuk diakui bahwa mereka hebat, atau lebih hebat dari orang/pihak lain. Hal ini didukung dengan darah muda alias mental labilnya, mereka sangat mudah menyulut pertengkaran dengan pelajar dari sekolah lain. Kenapa bertengkar? Untuk membuktikan bahwa mereka lebih unggul. Dalam hal apa? Fisik. Kenapa fisik? Karena itu keunggulan yang paling mudah diperlihatkan, ketimbang keunggulan di bidang akademik, misalnya. Unggul di bidang akademik hanya sebatas lembaran kertas rapor atau butuh upaya keras belajar lalu berkompetisi antar sekolah. Sementara itu, menghajar pelajar lain sampai babak belur adalah jalan singkat menunjukkan superiornya.

Faktor kedua adalah remaja kurang dapat menerima kekalahan. Kalah bermain sepakbola, mereka merusak fasilitas stadion. Pontang-panting saat diserbu lawan saat tawuran, mereka menyusun rencana serangan balasan. Mental tidak bisa menerima kekalahan ini adalah penyakit.

Faktor ketiga adalah remaja punya sangat banyak energi. Belajar di kelas dan pelajaran olahraga sepertinya tidak membuat mereka lelah. Sehingga mereka masih sempat nongkrong sepulang dari sekolah. Kombinasi faktor pertama hingga ketiga ini yang sering membuat mereka mengalami gesekan dengan kelompok pelajar dari sekolah lain dan membuat keributan.

Lalu bagaimana solusinya? Menurut saya, ketimbang overdosis pelajaran agama, sebaiknya sekolah, dengan didukung dinas pendidikan, menambah pelajaran olahraga. Pelajaran olahraga ekstra itu bisa diisi kompetisi antar kelas. Melalui kompetisi itu, mereka belajar bahwa puncak prestasi harus diraih dengan cara yang fair dan sehat. Bahwa kemenangan sejati yang keren itu adalah kemenangan yang positif dan ditempuh dengan cara-cara yang baik. Ketika kalah, mereka belajar mengoreksi diri dan tim. Apa yang kurang? Skill individu atau kerjasama tim, misalnya. Dengan demikian, pelajar terbiasa menerima kekalahan dan memiliki konsep yang benar tentang apa itu unggul, dan bagaimana meraih keunggulan.

Di sini, saya tidak mengatakan bahwa pelajar tidak butuh pelajaran agama. Tidak. Pelajar butuh pelajaran agama. Tapi, poin saya adalah, pelajar tidak butuh overdosis pelajaran agama. Teori-teori cukuplah 2 jam pelajaran seminggu. Selebihnya adalah praktek. Begitu kira-kira.

education

Masalah kedua dalam pendidikan di Indonesia, menurut saya, adalah kurangnya penghargaan atas kebhinekaan kemampuan individu. Sejak kecil, anak harus bisa matematika. Sialnya, saat akan masuk SD pun anak-anak harus sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung alias calistung.

Bila guru bertanya, cita-cita murid-muridnya sebatas pilot, dokter, atau tentara dan polisi. Wawasan mereka kurang dibukakan karena guru pun kurang sadar untuk membukakan wawasan dirinya sendiri bahwa dunia itu luas. Ada anak yang memiliki kemampuan menggambar, mengenal berbagai bahasa, berpuisi, dan sebagainya. Di mana ruang ekspresi bagi mereka di sekolah? Hampir tidak ada. Kecuali saat “Lomba Agustusan.” Sekali dalam setahun. Selebihnya, mereka dipaksa paham tentang abjad dan angka.

Alangkah indahnya bila sejak pendidikan dasar, mereka diberi ruang untuk mengembangkan bakatnya dan membuka wawasannya bahwa di luar sana ada pekerjaan sebagai desainer busana, desainer interior, penerjemah, jurnalis, fotografer, dan lain sebagainya. Terbukanya wawasan akan membuat anak lebih termotivasi untuk belajar karena tahu ke mana dia akan melangkah. Ada target yang dipasangnya dan dia akan berjuang menuju ke sana.

Masalah ketiga adalah menyerahkan pendidikan ke sekolah sehingga ortu lepas tanggung jawab. Hal ini banyak sekali terjadi. “Kan saya sudah bayar SPP mahal sekali,” adalah salah satu kalimat pamungkas bagi para ortu yang kurang menyadari bahwa ortu dan suasana rumah sesungguhnya pegang peranan sangat penting terhadap pendidikan anak dan keberhasilannya kelak. Hal ini juga yang menyebabkan anak tidak paham tata krama dan akhirnya dihajar gurunya karena ketidak-sopanannya tersebut. Celakanya, melihat anaknya dihajar guru, si ortu malah marah. Akhirnya lingkaran setan keadaan yang membuat anak tidak belajar tata krama tidak pernah berhenti. Guru dibui dan sekolah enggan berurusan. Ortu merasa sudah menyelamatkan anaknya. Dan si anak merasa tindakannya tidak salah, gurunyalah yang salah dan gurunya layak dibui. Bila sudah jamak demikian terjadi, kita telah berhasil mencetak anak manja yang bertingkah semaunya sendiri tanpa sadar tindakannya itu salah.

Masalah pendidikan bukan melulu masalah terkait sekolah. Pendidikan adalah cara mendidik anak. Orang tua tetaplah faktor terpenting keberhasilan pendidikan anak. Teladan melalui sikap, perkataan, dan cara berpikir yang benar adalah warisan yang tidak ternilai. Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Jokowi Resmikan KJA Offshore, Tuna yang Tunawisma Berharap dapat Bagian.

pemprov-jabar_20180424_172156
Presiden Joko Widodo sedang berdiskusi dengan nelayan Cikidang, Pangandaran, Jawa Barat. (Foto: tribunnews)

Pada 24 April 2018 lalu, Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meresmikan operasional Karamba Jaring Apung (KJA) Offshore di Pangandaran, Jawa Barat. Seperti namanya, ini adalah karamba jaring apung yang diletakkan di lepas pantai. Terdapat 8 set karamba yang rencananya akan diisi 120 ribu benih ikan kakap putih di setiap setnya.

“Hari ini kita meresmikan Keramba Jaring Apung, yang offshore, yang lepas pantai. Ini kita harapkan menjadi sebuah lompatan kemajuan, sebuah terobosan, ini pertama di Indonesia,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip Tribunnews.

Melihat hal tersebut, Paguyuban Tuna Lautan (Pagutan) menyampaikan keinginannya agar sebagian karamba bisa untuk ikan tuna yang tunawisma. Kelompok ikan dari keluarga Thunnus itu mengungkapkan, sebagian ikan tuna sudah lelah bermigrasi antar samudera. “Sebagian dari kami sudah lelah. Bayangkan, sejak kami menetas hingga kami dewasa, kami sudah mengarungi Samudera Hindia. Kadang kami sampai Madagaskar. Kalau kuat, kami kadang berenang sampai Afrika Selatan,” ujar Tubelo, perwakilan Pagutan yang merupakan jenis ikan tuna mata besar (Thunnus obesus).

Pagutan berharap KJA Offshore tersebut dapat menjadi peristirahatan bagi ikan-ikan tuna yang tunawisma dan sudah menua. “Kami bisa berenang santai, menikmati fajar dan senja sambil rutin diberi makan. Kami bosan harus membedakan mana ikan mana umpan,” kata Sikoneng, perwakilan dari jenis Madidihang (Thunnus albacares).

01 tuna
Tuna mata besar (Thunnus obesus) tertangkap kapal rawai tuna di Samudera Hindia.

Namun rupanya tidak semua tuna tertarik. Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii) menolak mentah-mentah ide tersebut. “Airnya panas,” ujarnya singkat saat ditanya alasannya tidak mau bergabung andai ada peluang penampungan tuna di KJA Offshore. Tuna Sirip Biru Selatan yang terkenal mahal itu memang penyuka perairan dalam yang airnya dingin.

Menanggapi permintaan kaum tuna, Susi Pudjiastuti belum memastikan untuk menyanggupinya. Desain karamba untuk kakap putih yang kecil dan perenang selow tentu berbeda bila dibandingkan untuk tuna yang jenis perenang cepat. Namun yang pasti, Susi masih memprioritaskan kakap putih terlebih dulu karena sudah masuk dalam rencana yang disusun KKP.

Disclaimer: ini berita full rekayasa, hasil dari kepala rengat.

Blog di WordPress.com.

Atas ↑